Oleh: Wilson Colling, S.H., M.H, Praktisi Hukum dan Penulis Aktif di Media Sosial
𝗪𝗖𝗔𝗟𝗔𝗪𝗙𝗜𝗥𝗠 , 𝗝𝗔𝗞𝗔𝗥𝗧𝗔 – Seruan untuk memberantas preman kembali menggema di berbagai daerah. Aksi-aksi premanisme yang meresahkan masyarakat, seperti pungutan liar, intimidasi terhadap pelaku usaha kecil, hingga penguasaan wilayah secara ilegal, telah mendorong aparat penegak hukum melakukan tindakan cepat dan tegas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dalam euforia pemberantasan, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah negara sedang menegakkan hukum, atau hanya memperpanjang kekerasan dalam bentuk lain?
𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝗛𝗮𝗱𝗶𝗿, 𝗧𝗮𝗽𝗶 𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗠𝗲𝗺𝗯𝗮𝗯𝗶 𝗕𝘂𝘁𝗮
Premanisme adalah persoalan hukum, namun ia juga merupakan gejala sosial. Preman tidak tumbuh begitu saja. Banyak dari mereka adalah korban dari sistem ekonomi yang timpang, keterbatasan pendidikan, serta absennya negara dalam menjamin keadilan sosial. Jika pemberantasan preman dilakukan secara represif tanpa analisis sosial yang mendalam, maka negara justru berisiko melanggar asas keadilan yang menjadi ruh dari hukum itu sendiri.
Menindak tegas premanisme adalah keharusan. Tetapi menindak tanpa nurani adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan prinsip hak asasi manusia yang dijunjung tinggi dalam Pasal 28D dan 28G UUD 1945.
𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗨𝗹𝗮𝗻𝗴𝗶 𝗞𝗲𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗸𝘂𝗮𝘀𝗮𝗮𝗻
Kita tidak bisa memerangi kekerasan dengan kekerasan. Ketika negara menumpas preman dengan pendekatan represif, razia masif, dan penahanan tanpa proses yang adil, maka negara sedang menggantikan posisi preman itu sendiri. Ini bukan penegakan hukum, ini pembalasan. Hukum harus dipisahkan dari nafsu balas dendam.
Preman adalah manusia. Mereka punya latar belakang, masa lalu, dan sering kali hanya mencari cara bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi. Tidak semua preman adalah pelaku kriminal murni. Beberapa adalah korban kebijakan negara yang gagal menciptakan lapangan kerja dan perlindungan sosial yang memadai.
𝗥𝗲𝘀𝘁𝗼𝗿𝗮𝘁𝗶𝘃𝗲 𝗝𝘂𝘀𝘁𝗶𝗰𝗲 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗧𝗲𝗻𝗴𝗮𝗵
Pemberantasan premanisme tidak harus selalu berujung pada kriminalisasi. Negara bisa mendorong pendekatan restorative justice, terutama bagi pelaku yang masih bisa dibina dan tidak terlibat dalam kejahatan berat. Ini bukan bentuk kelemahan hukum, tapi justru keunggulan hukum yang beradab.
Penegakan hukum yang manusiawi adalah kunci agar pemberantasan preman tidak melahirkan dendam dan siklus kekerasan baru. Kita memerlukan penegakan hukum yang menyentuh akar persoalan, bukan sekadar memotong dahan yang terlihat.
𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗕𝘂𝗻𝘂𝗵 𝗛𝗮𝗿𝗮𝗽𝗮𝗻
Masyarakat berhak atas rasa aman. Namun rasa aman itu tidak boleh ditebus dengan hilangnya rasa keadilan. Dalam memberantas preman, negara harus tetap memanusiakan manusia. Jangan sampai atas nama ketertiban, kita justru membiarkan kekuasaan berjalan tanpa empati.
Jika hukum kehilangan sisi kemanusiaannya, maka ia tak ubahnya alat kekuasaan belaka
Artikel ini di muat dan di publish berdasarkan tulisan penulis sendiri tanpa mengalami perubahan sedikitpun