Halmahera Selatan – Pernyataan kontroversial kembali menyeret nama salah satu advokat di Halmahera Selatan (Halsel), Safri Nyong. Ia resmi dilaporkan ke Polres Halsel oleh Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPC GAMKI) Halsel, Jumat (26/9/2025).
Safri dianggap melecehkan keyakinan umat Kristiani setelah mengaitkan langkah Bupati Halsel, Hasan Ali Bassam Kasuba, dengan sosok Nabi Isa Al-Masih. Dalam komentarnya yang tersebar di salah satu media daring, Safri menyebut pelantikan empat kepala desa (kades) oleh Bupati mirip dengan mukjizat Nabi Isa.
“Ini seperti Nabi Isa yang menghidupkan orang mati,” ucap Safri dalam pernyataan yang menuai reaksi keras itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua DPC GAMKI Halsel, Van Costan El Erens Galouw, menegaskan ucapan Safri sangat tidak pantas dan bisa melukai perasaan umat Kristen di Halsel maupun secara lebih luas.
“Komentar Safri Nyong jelas bermuatan kecaman terhadap Bupati, sekaligus menyerempet iman kami. Bagaimana mungkin pelantikan kades disamakan dengan mukjizat Tuhan kami, Yesus Kristus, yang membangkitkan orang mati? Ini jelas dugaan penistaan,” kata Van dilansir dari Media KritikPost.id,
Lebih jauh, Van menegaskan GAMKI tidak hanya menempuh jalur hukum, tetapi juga akan membawa kasus ini ke organisasi profesi Safri.
“Laporan resmi sudah kami masukkan di Polres Halsel, tinggal menunggu proses hukum. Selain itu, kami juga akan menyurati PERADI agar memberikan teguran keras kepada saudara Safri Nyong,” tegasnya.
Laporan GAMKI tersebut telah diterima di ruang SPKT Polres Halsel dengan Nomor: STPL/600/IX/2025 tertanggal 26 September 2025.
Nama Safri Nyong bukan kali pertama menjadi sorotan publik di Halsel. Ia dikenal sebagai advokat yang vokal mengkritisi berbagai kebijakan Bupati Bassam Kasuba, terutama terkait keputusan pemerintah daerah dalam polemik kepala desa.
Beberapa waktu lalu, Safri sempat melontarkan pernyataan keras dengan menyebut Bupati “seperti Nabi yang menghidupkan kades yang gugur di PTUN”. Ucapan itu dinilai banyak pihak sebagai serangan politik yang kelewat batas dan sarat sentimen pribadi.
Rivalitas politik antara Safri dan Bassam dipandang bukan sekadar persoalan hukum, melainkan juga pertarungan pengaruh di ruang publik Halsel. Namun, ketika pernyataan pribadi menyentuh ranah keagamaan, polemik pun berkembang menjadi isu sensitif yang berpotensi merusak kerukunan antarumat di daerah.
Kasus ini membuka mata publik Halsel bahwa rivalitas politik yang dibiarkan liar dapat menjalar ke ranah sensitif seperti agama. Di negeri yang majemuk seperti Maluku Utara, retorika berlebihan justru berisiko memecah belah persaudaraan se-desa, se-kecamatan, bahkan se-kabupaten.
Safri Nyong, sebagai advokat, semestinya menjaga kewibawaan profesi dengan kritik berbasis hukum, bukan analogi yang menyinggung iman umat tertentu. Kritik terhadap kebijakan Bupati sah-sah saja, tetapi menyeret simbol keagamaan ke ruang politik hanyalah memperkeruh suasana.
Kini, semua mata tertuju pada Polres Halsel dan PERADI. Apakah aparat berani memproses laporan ini secara terbuka dan adil? Dan apakah organisasi profesi advokat sanggup menegakkan etikanya sendiri?
Di tengah suhu politik Daerah yang panas, publik Halsel membutuhkan kepastian hukum, bukan ucapan yang dinilai berpotensi mengadu domba. (WR)