Oleh: Wilson Colling, S.H., M.H, Praktisi Hukum dan Penulis Aktif di Media Sosial
๐ช๐๐๐๐๐ช๐๐๐ฅ๐ , ๐๐๐๐๐ฅ๐ง๐ โ Seruan untuk memberantas preman kembali menggema di berbagai daerah. Aksi-aksi premanisme yang meresahkan masyarakat, seperti pungutan liar, intimidasi terhadap pelaku usaha kecil, hingga penguasaan wilayah secara ilegal, telah mendorong aparat penegak hukum melakukan tindakan cepat dan tegas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dalam euforia pemberantasan, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah negara sedang menegakkan hukum, atau hanya memperpanjang kekerasan dalam bentuk lain?
๐ก๐ฒ๐ด๐ฎ๐ฟ๐ฎ ๐๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ฟ, ๐ง๐ฎ๐ฝ๐ถ ๐๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ ๐ฒ๐บ๐ฏ๐ฎ๐ฏ๐ถ ๐๐๐๐ฎ
Premanisme adalah persoalan hukum, namun ia juga merupakan gejala sosial. Preman tidak tumbuh begitu saja. Banyak dari mereka adalah korban dari sistem ekonomi yang timpang, keterbatasan pendidikan, serta absennya negara dalam menjamin keadilan sosial. Jika pemberantasan preman dilakukan secara represif tanpa analisis sosial yang mendalam, maka negara justru berisiko melanggar asas keadilan yang menjadi ruh dari hukum itu sendiri.
Menindak tegas premanisme adalah keharusan. Tetapi menindak tanpa nurani adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan prinsip hak asasi manusia yang dijunjung tinggi dalam Pasal 28D dan 28G UUD 1945.
๐๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐จ๐น๐ฎ๐ป๐ด๐ถ ๐๐ฒ๐ธ๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ธ๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฎ๐ป
Kita tidak bisa memerangi kekerasan dengan kekerasan. Ketika negara menumpas preman dengan pendekatan represif, razia masif, dan penahanan tanpa proses yang adil, maka negara sedang menggantikan posisi preman itu sendiri. Ini bukan penegakan hukum, ini pembalasan. Hukum harus dipisahkan dari nafsu balas dendam.
Preman adalah manusia. Mereka punya latar belakang, masa lalu, dan sering kali hanya mencari cara bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi. Tidak semua preman adalah pelaku kriminal murni. Beberapa adalah korban kebijakan negara yang gagal menciptakan lapangan kerja dan perlindungan sosial yang memadai.
๐ฅ๐ฒ๐๐๐ผ๐ฟ๐ฎ๐๐ถ๐๐ฒ ๐๐๐๐๐ถ๐ฐ๐ฒ ๐๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ฎ๐ถ ๐๐ฎ๐น๐ฎ๐ป ๐ง๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ต
Pemberantasan premanisme tidak harus selalu berujung pada kriminalisasi. Negara bisa mendorong pendekatan restorative justice, terutama bagi pelaku yang masih bisa dibina dan tidak terlibat dalam kejahatan berat. Ini bukan bentuk kelemahan hukum, tapi justru keunggulan hukum yang beradab.
Penegakan hukum yang manusiawi adalah kunci agar pemberantasan preman tidak melahirkan dendam dan siklus kekerasan baru. Kita memerlukan penegakan hukum yang menyentuh akar persoalan, bukan sekadar memotong dahan yang terlihat.
๐๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐๐๐ป๐๐ต ๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ฝ๐ฎ๐ป
Masyarakat berhak atas rasa aman. Namun rasa aman itu tidak boleh ditebus dengan hilangnya rasa keadilan. Dalam memberantas preman, negara harus tetap memanusiakan manusia. Jangan sampai atas nama ketertiban, kita justru membiarkan kekuasaan berjalan tanpa empati.
Jika hukum kehilangan sisi kemanusiaannya, maka ia tak ubahnya alat kekuasaan belaka
Artikel ini di muat dan di publish berdasarkan tulisan penulis sendiri tanpa mengalami perubahan sedikitpun